Nurul Arifin Wakil Ketua Umum Partai Golongkan Karya (Golkar) menegaskan partainya akan mengusung Airlangga Hartarto sebagai calon presiden (capres) di Pilpres 2024.
Dia mengklaim, Kader Golkar solid mendukung ketua umumnya walau pun Airlangga tidak masuk dalam kategori kandidat populer berdasarkan hasil survei.
“Calon presiden dari Golkar cuma satu yaitu Airlangga Hartarto. Sesuai keputusan Munas, kami konsisten mengusung Airlangga Hartarto. Saya bingung kalau ada orang yang terpukau dengan popularitas, sementara kapabilitas dan kompetensinya tidak dilihat,” ujarnya di Jakarta, Senin (16/1/2023).
Semestinya, lanjut Nurul, rekam jejak yang dipakai sebagai penilaian untuk mengusung calon pemimpin. Dia menyebut Golkar tidak terpengaruh hasil survei dalam menentukan capres.
Menanggapi pernyataan itu, Ujang Komaruddin Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) menilai pandangan Nurul perlu didukung pemilih yang rasional.
Untuk itu, dibutuhkan kerja keras meningkatkan literasi pemilih supaya mampu melihat kapabilitas dan komptensi para kandidat.
Menurutnya, pemilih Indonesia bisa dikategorikan sebagai pemilih rasional yang mendasarkan pada visi-misi, program, kinerja, rekan jejak, gagasan, dan catatan baik dari kandidat.
“Pemilih rasional akan meningkat ketika politik gagasan mengemuka. Ketika politik Indonesia sudah mulai mengedepankan adu program, adu gagasan, maka pemilu akan menghadirkan politik ide dan gagasan. Sehingga, pemilih rasional akan lebih menonjol,” katanya.
Sementara, kalau pemilih masih emosional dan cenderung mudah dimobilisasi, maka rasionalitas akan terbelakang. Sehingga, rekam jejak tidak akan menjadi prioritas.
Di sisi lain, pemilih emosional bisa menjatuhkan pilihan berlandaskan kedekatan, kharismatik, atau hubungan keluarga.
“Karakter pemilih kita bisa dibagi dua, pemilih yang rasional, juga pemilih yang emosional. Mudahnya seperti itu,” jelas akademisi Universitas Al Azhar Indonesia tersebut.
Selain itu, ada pemilih dimobilisasi yang cuma peduli pada pemberian. Bagi mereka, janji, visi-misi, gagasan adalah bohong, atau bualan saja. Yang nantinya dipilih adalah yang memberikan sesuatu.
“Pemilih juga ada yang dimobilisasi atau dibeli. Nah, pemilih kita ini masih banyak yang dibeli. Dimobilisasi lalu dibeli,” tegasnya.
Mayoritas pemilih yang belum rasional, sambung Ujang, juga menjadi penyebab maraknya politik uang. Masyarakat Indonesia juga belum memilih berdasarkan visi misi, ide gagasan,dan program, tetapi lebih parah lagi dimobilisasi.
“Karena itulah pemilu kita banyak politik uang yang terstruktur, sistimatus, masif, dan itu terjadi pada setiap pemilu secara terus-menerus. Bahkan 2024 juga kemungkinan akan semakin masif,” ucapnya.
Sementara itu, Surokim Abdussalam Pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo Madura mengatakan, mengusung Airlangga Hartarto sebagai Calon Presiden di Pemilu 2024 merupakan kebanggaan bagi Partai Golkar.
“Golkar memang sudah seharusnya begitu, harus solid mengusung Airlangga untuk maju capres atau cawapres. Paling tidak itu akan menguatkan kebanggaan kader dan juga internal Golkar serta memperbesar efek ekor jas,” katanya.
Terkait elektabilitas, peneliti senior di Surabaya Survey Center (SSC) itu mengingatkan tokoh yang akan maju di Pilpres 2024. wajib punya pengalaman dan rekam jejak yang baik.
“Sebagai Menko Perekonomian saya pikir modal Pak Airlangga cukup impresif dan kinerjanya bagus. Saya pikir untuk posisi cawapres, Pak Airlangga masih kompetitif,” sebutnya.
Seperti diketahui, Golkar merupakan partai ketiga terbesar di Indonesia. Suaranya cukup besar untuk mendukung ketumnya maju sebagai capres, dan mempertimbangkan posisi cawapres.
“Kalau melihat elektabilitas Pak Airlangga memang tidak cukup kompetitif untuk capres. Jadi, mungkin bisa digeser untuk bersaing sebagai cawapres,” pungkas Surokim.(rid)